Kamis, 02 Juni 2016

tanaman sansivera (lidah mertua)

PENGGUNAAN TANAMAN Sansevieria UNTUK MENGETAHUI KUALITAS UDARA Ayu Lestari, Judianto Sinaga, Lisnawati Sinaga, Vitryany Nababan Jurusan Biologi, Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung ( UBB ) Balun Ijuk Merawang Kabupaten Bangka, Bangka Belitung, Indonesia. ABSTARACT This study was conducted to determine the air quality at two locations, namely a location away from the highway and close to the highway. Data obtained by the biological parameter that is by looking at the number of stomata on the leaves Sansevieria (tongue-in-law). On the leaf surface there are many stomata that allow the maximum CO2 diffusion into the leaves when the stomata open. From the research that we can know that the leaves of the tongue-in-law were taken from a location close to the highway stomata tenuous, while taken from locations far from roads stomata meeting. This indicates that the closer the stomata of a leaf, the air is getting worse, on the contrary increasingly tenuous stomata of the leaves, the air is getting better. Key words: air quality, stomata, Sansevieria Abstaract— penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kualitas udara di dua lokasi, yaitu lokasi yang jauh dari jalan raya dan yang dekat dengan jalan raya. Data yang diperoleh dengan parameter biologi yaitu dengan melihat jumlah stomata pada daun Sansevieria (lidah mertua ). Pada permukaan daun terdapat banyak stomata yang memungkinkan terjadinya difusi CO2 secara maksimum ke dalam daun pada saat stomata terbuka. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa daun lidah mertua yang diambil dari lokasi yang dekat dengan jalan raya stomatanya rapat, sementara yang diambil dari lokasi jauh dari jalan raya stomatanya renggang. Ini menunjukkan bahwa semakin rapat stomata sebuah daun maka udaranya semakin buruk, sebaliknya semakin renggang stomata daun maka udaranya semakin baik. Kata kunci: kualitas udara, stomata, Sansevieria 2016 PENDAHULUAN Latar Belakang Sejak ribuan tahun yang lalu jumlah populasi manusia di muka bumi semangkin hari semakin meningkat, begitu pula dengan kebutuhan gasnya. Setelah manusia mengenal peradaban dan seiring berjalannya kemajuan teknologi, kualitas daya saingnya yang semakin meningkat, misalnya berlomba-lomba dalam membangun pabrik industri dan sebagainya. Padahal tidak disadari bahwa, jika membangun sebuah industri di perkotaan atau tempat-tempat yang padat akan jumlah penduduknya dapat menimbulkan bahaya bahkan penyakit pada sistem pernapasan dan akan berpotensi menurunkan kualitas lingkungan, karena industri atau pabrik akan menghasilkan gas-gas yang didalamnya terkandung zat-zat atau senyawa kimia yang sangat berbahaya, misalnya sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), dan lain-lain. Selain dari aktivitas pabrik atau industri yang berada pada tempat dan waktu yang kurang tepat, gas-gas yang dihasilkan oleh pembakaran yang tidak sempurna pada kendaran roda dua, dapat juga memicu penuranan dari kulitas lingkungan karena jumlahnya melebihi ambang batas. Dampak dari menurunnya kualitas udara akibat pencemaran udara adalah dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan manusia diantaranya adalah kanker kulit, mata berair, batuk-batuk, kerusakan struktur pada berbagai tumbuhan, korosi pada logam, dan sebagainya. Hal ini dapat dicegah dengan dilakukannya pemantauan melalui berbagai metode, di antaranya dilakukan metode kimia, biologi, dan fisika. Berhubungan dengan pemantauan menurunnya kualitas lingkungan yang di sebabkan oleh pencemaran udara melalui metode biologi, menggunakan organisme makhluk hidup sebagai bioindikator, misalnya yang berasal pada tumbuahan tingkat tinggi yang tidak berkayu (tumbuhan herbaceous), dan yang berkayu. Tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai bioindikator adalah tumbuhan yang dapat memberikan respon terhadap perubahan kondisi lingkungannya, misalnya bagaimana warna daun, apakah tumbuhan tersebut mengalami gangguan selama preses pertumbuhan dan sebagainya. Menurut Nugroho A. (2005), ia memaparkan gejala makroskopik dan mikroskopik pada tumbuhan apabila kondisi lingkungannya tidak sehat. Berikut ini merupakan gejala makroskopiknya : 1. Daun clorosis Perubahan warna daun yang di akibatkan oleh banyaknya konsentrasi pencemar 2. Daun necrosis Kerusakan pada tepi daun, muncul warna agak kecoklatan dan akan menyebabkan kamatian. Misalnya pada daun petunia yang terpapar oleh asap fotokimia (fotosmog) 3. Perubahan pertumbuhan (anomalis) Gas-gas yang berbahaya dapat mengganggu pertumbuhan tumbuhan dengan cara mengamati jaringan-jaringan sensitif. Misalkan rontoknya daun akibat disebabkan oleh sulfur dioksida. Hal ini dikarenakan tangkai daun menjadi rapuh. Gejala mikroskopik adalah gejala yang dapat ditandai dengan terjadinya kerusakan sel yang dapat diidentifikasikan dari kekacauan di dalam pergerakan plasma atau terjadinya plasmolisis pada sel. Sel tersebut mengkerut dan kloroplas menjadi tidak beraturan. Tujuan praktikum Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui kualitas udara di tempat yang belum dan sudah tercemar. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Nurhayati N. (2013), udara merupakan campuran dari berbagai macam gas, salah satunya adalah oksigen (O2). Gas ini adalah komponen yang sangat penting untuk menunjang kehidupan semua makhlukm hidup yang ada di bumi. Komponen gas yang menyusun udara yaitu nitrogen sekitar 78%, oksigen sekitar 20%, argon sekitar 0,93%, karbon dioksiada 0,03%, dan 1,04%-nya terdiri atas helium, neon, metana, dan hidrogen. Menurut Darmono (2010),atmosfer bumi adalah gas yang melapisi bumi dan terbagi dalam beberapa lapisan. Lapisan yang paling dalam disebut troposfer yang tebalnya sekitar 17 km di atas permukaan bumi. Sebagian besar udara dalam lapisan troposfer selalu berputar-putar dan terus bergerak, menjadi panas oleh sinar matahari, kemudian bergerak lagi diganti oleh udara yang akan panas kembali. Proses fisik tersebut menyebabkan terjadinya pergerakan udara dalam lapisan troposfer, dan merupakan faktor utama mendeteksi iklim dan cuaca di permukaan bumi. Di samping itu pergerakan udara tersebut juga dapat , distribusikan bahan kimia pencemar dalam lapisan troposfer. Lapisan kedua dari atmosfer adalah stratosfer yang mempunyai ketebalan 30 km sehingga jarak dari permukaan bumi sekitar 17 km sampai dengan 48 km di atas permukaan bumi. Dalam lapisan ini di temukan sejumlah kecil gas ozon (O3) yang dapat menyaring 99% sinar berbahaya dari matahari yaitu radiasi sinar ultraviolet. Fungsi dari filter gas ozon yang tipis dalam lapisan ini adalah mencegah intensitas sinar matahari yang dapat merusak bumi dan isinya, yaitu mencegah kanker kulit. Pencemaran udara terjadi pada saat hadirnya substansi, baik fisik, kimia, maupun biologi di udara yang jumlahnya dapat membahayakan makhluk hidup dan lingkungan. Misalnya karbon dioksida dibutuhkan oleh tumbuhan sebagai bahan baku untuk fotosintesis. Artinya karbondiksida bermanfaat untuk tumbuhan, sehingga harus ada di udara. Akan tetapi jika jumlahnya sudah melebihi ambang batas normal, maka ia dapat dimasukkan ke dalam penyebab terjadinya pencemaran udara(polutan). A. Jenis Pencemaran Udara Menurut Nurhayati N. (2013), pencemaran udara dibagi menjadi 2 macam, yaitu berdasarkan bentuknya, tempat, dan sumbernya. Berdasarkan bentuknya pencemaran udara dibedakan menjadi dua, yaitu pencemaran udara dalam bentuk gas, misalnya karbon dioksiada (CO2 ), karbon monoksida (CO), nitrogen dioksoda (N 2O) dan lain-lain,dan dalam bentuk pertikel., misalnya bahan anorganik (mineral), bahan organik, dan makhluk hidup. Berdasarkan tempat dan sumbernya , pencemaran udara dibedakan menjadi dua, yaitu pencemaran udara bebas dan pencemaran udara ruangan. Pencemaran udara bebas berasal dari alam dan buatan, sedangkan pencemaran udara ruangan berasal dari permukiman dan perkantoran. B. Dampak Pencemaran Udara Menurut Nurhayati N. (2013), polutan udara dalam jangka panjang dapat mengganggu kesehatan, seperti mata berair, batuk-batuk, penyakit pernapasan dan lain-lain. Selain itu polutan dapat merusak bangunan karena dapat menyebabkan pelapukan pada bangunan tersebut, menyebabkan korosi pada logam, dan kerusakan lainnya. Penggunaan CFC (Chloro Flouro Carbon), sebagai gas pendingin pada lemari es, dan pendingin ruangan (AC) dapat menyebabkan CFC menjadi polutan di udara, karena gas ini tidak dapat terurai dalam jangka waktu lama. Gas ini masuk ke stratosfer dan merusak lapisan ozon. Jika hal ini dibiarkan, maka intensitas radiasi ultraviolet semangkin meningkat dan hal ini akan membahayakan kesehatan manusia, karena dapat menyebabkan kenker kulit. Pembakaran bahan bakar minyak bumi, batu bara, dan pembakaran hutan, dapat menyebabkan bertambahnya CO2 dan gas lain di atmosfer bumi. Gas-gas ini kemudian membuat lapisan di atmosfer, sehingga menghalangi pantulan panas dari permukaan bumi untuk dilepaskan kembali ke bumi sehingga permukaan di bumi bertambah panas. Keadaan ini disebut sebagai efek rumah kaca. Efek rumah kaca akan dipercepat jika hutan di bumi luasnya semangkin berkurang. Efek rumah kaca dapat menaikkan suhu secara global dan dapat mengubah pola cuaca di seluruh dunia. C. Respon Sel Dan Jaringan Daun Terhadap Pencemaran Udara Menurut Nugroho A. (2005), tumbuhan tingkat tinggi akan memberikan respon terhadap perubahan lingkungan, diantaranya respon sel daun terhadap logam berat, respon sel daun terhadap ozon dan Peroxy-Acetil-Nitrete (PAN), dan respon sel daun terhadap gas asam (HCL,SO 2 ,NO 2 dan HF). Berikut ini penjelasannya. 1. Respon sel daun terhadap logam Perubahan kloroplas secara signifikan yang di sebabkan oleh nutrisi mineral. Perubahan tersebut diantaranya perubahan jumlah kloroplas, volumenya,yang dapat ditunjukkan oleh perubahan warna daun sebelum daun tersebut tua. Menurut Barel (1976 dalam Nurhayati N. 2013), perbedaan dalam komposisi medim pendukung dapat mempengaruhi penimbunan (penumpukan) tiilakoid, termasuk ketebalan membran tilakoid. Menurut Dudka at al ( 1973 dalam Went,1982 dalam Nurhayati N. 2013),melaporkan bahwa perubahan kloroplas tomat yang di tumbuhkan di dalam larutan yang mengandung ion kadmium. Peristiwa tersebut dapat menyebabkan volume kloroplas berkurang, kurang lebih 57% dari kontrol, sedangkan jika larutan tersebut memiliki konsentrasi kadmium yang rendah (1-5 mikron), maka jumlah kloroplasnyadan klorofil akan bertambah. Akan tetapi pada konsentrasi kadmium 10-20 mikron jumlah kloroplas juga berkurang. Hal ini menunjukkkan bahwa ada faktor lain yang menyebabkan perubahan yang terjadi pada kloroplas, selain kadmium. 2. Respon Sel Daun Terhadap Ozon Dan Peroxy-Acetil-Nitrete (PAN) Kedua senyawa beracun ini memiliki kemiripan, yaitu sama-sama mencerminkan sifat umum dampak oksidasi kuat yang dimiliki oleh keduanya. Perubahan yang terjadi pada stroma kloroplas menjadi glanular, ini merupakan tahap awalnya perusakan okeh ozon. Kemudian sitoplasma mengalami presitipasi pada zona sentral sehingga terjadi plasmolisis sel. Vakuola pun mengalami disintegrasi. Komponen sitosol berupa penutup kloroplas dan struktur intinya rusak secara total. Secara bersamaan mitokondria yang sebelumnya belum rusak akan membengkak, sedangkan lapisan yang tida kedap elektron tidak dapat diidentifikasi dan akan tetep tinggal di dalam sel itu. Kerusakan kedua ditunjukkan dengan rusaknya komponen sitosol. Sama halnya dengan ozon, PAN juga akan menyebabkan granulasi primer pada stroma kloroplas, sedangkan komponen-komponen sel lain tetap utuh. Selain itu PAN juga akan menyebabkan plasmolisis dan rusaknya sitosol secara umum. Semua organel sel dapat rusak kecuali membran kloroplas tetap utuh. Secara spesifik gejala yang dapat terjadi akibat dari kedua senyawa yang beracun ini adalah terakumulasikannya pigmen yang lebih gelap pada dinding sel. 3. Respon Sel Daun Terhadap Gas Asam (HCL,SO 2 ,NO 2 dan HF) HCL akan menyebabkankerusakan pada kloroplas. HCL yang mengandung gas merupakan zat pencemar yang dihasilkan oleh produk PVCdan pemanas batu bara. Menurut Kovac (1992 dalam Nugroho A. 2005), meneliti tentang asam HCL pada Tagetes aracta dan pada bayam tentang pengaruh gas asam terhadap sel. Hasilnya adalah ultra struktur sel mengalami kerusakan lebih berat dari pada kerusakan yang tampak secara visual. Menurut Swicki at.al (1972 dalam Kovac, 1992 dalam Nugroho A. 2005), meneliti menggunakan daun kacang buncis. Hasilnya adalah, adanya perbadaan antara asam hidroklorida yang mengandung gas dan asam cair (hidroklorik, asam nitrit, asam sulfur), ternyata asam cair yang menyebabkan nekrotis pada daun, karena terakumulasi didalam lubang-lubang daun. Kejalanya adalah terbentuk;ah noda-noda nekrotis pada permukaan daun dan kerusakan jaringan yang mencurigakan pada urat-urat daun. METODE PRAKTIKUM Waktu Dan Tempat Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 13 mei 2016 di Laboratorium Botani Fakultas Pertanian Perikanan Dan Biologi Universitas Bangka Belitung. Alat Dan Bahan: Alat yang digunakan yaitu kaca preparat, mikroskop, pinset, sementara bahan yang digunakan adalah larutan HNO3 25%, daun karet, alkohol 70, larutan bayclin, larutan HNO3 25%, gliserin 10%, pewarna safranin. Cara Kerja Pengamatan indeks stomata pada daun tersebut dilaku- kan dengan cara sebagai berikut: daun difiksasi dalam alkohol 70%, kemudian larutan fiksatif dibuang diganti dengan akuades. Selanjutnya direndam dalam larutan HNO3 25% selama 15-30 menit untuk menghancurkan jaringan mesofil. Sebelum disayat menggunakan silet, daun tersebut terlebih dahulu dicuci menggunakan akuades. Untuk menghilangkan klorofil dari mesofil yang terikat, sayatan epidermis direndam dalam larutan bayclin selama 1-5 menit kemudian dicuci menggunakan akuades. Sayatan epidermis yang telah didapatkan kemudian diwarnai dengan pewarna safranin selama satu menit kemudian dicuci menggunakan akuades. Sediaan berupa lapisan epidermis diletakkan di atas gelas obyek kemudian ditetesi gliserin 10% dan ditutup dengan gelas penutup. Kemudian diamati dibawah mikroskop. Peubah yang diamati: jumlah stomata tiap bidang pandang, panjang serta lebar stomata. Penghitungan dilakukan pada 10 bidang pandang yang berbeda. Berikut rumus penghitungan stomata: Kerapatan stomata = Jumlah stomata Satuan luas bidang pandang Indeks stomata = Jumlah stomata Jumlah stomata + sel epidermis HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Karakter morfologi. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada Sanseviera sp. didapati bahwa tanaman ini memiliki bentuk daun seperti pedang, daunnya tebal, ujung daun meruncing, berwarna perak dengan garis-garis vertikal berwarna hijau, jumlah helaian daun 5-8. Karakter Anatomi. Sel penjaga stomata pada tanaman ini setelah dilakukan pengamatan memiliki bentuk ginjal, stomata tersebar tunggal, tetapi ada juga yang berkelompok. Epidermisnya berbentuk poligonal dengan 4 hingga 6 sisi yang berdinding tipis. Berikut ini merupakan hasil penelitian pada keadaan stomata lidah mertua (Sanseviera sp.) di daerah yang tidak tercemar (di laboratorim Biologi) dan di tempat yang tercemar (di pinggir jalan raya Balunijuk). Tabel 1. Kondisi stomata lidah mertua pada tempat yang tidak tercemar. No. Letak stomata Gambar perbesaran 10 × 25 keterangan 1 Ujung Jumlah stomata ±38 Ukuran stomatanya besar dan lumayan tipis Kerapatan stomatanya renggang 2 tengah Jumlah stomata ±20 Ukuran stomatanya besar dan lumayan tipis Kerapatan stomatanya renggang 3 pangkal Jumlah stomata ±14 Ukuran stomatanya besar dan lumayan tipis Kerapatan stomatanya renggang Tabel 2. Kondisi stomata lidah mertua pada tempat yang tercemar. No. Letak stomata Gambar perbesaran 10 × 25 keterangan 1 ujung Jumlah stomata ±48 Ukuran stomatanya kecil dan lumayan tebal Kerapatan stomatanya tinggi 2 tengah Jumlah stomata ±30 Ukuran stomatanya kecil dan lumayan tebal Kerapatan stomatanya tinggi 3 pangkal Jumlah stomata ±15 Ukuran stomatanya kecil dan lumayan tebal Kerapatan stomatanya tinggi Pembahasan Stomata berfungsi sebagai tempat pertukaran gas pada tanaman. Stomata merupakan modifikasi epidermis berupa pori yang diapit oleh sel penjaga yang dikelilingi oleh beberapa sel tetangga. Parameter yang digunakan dalam pengamatan ini meliputi kerapatan stomata, ukuran stomata, dan jumlah stomata (Tabel 1 dan 2). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada Sanseviera sp. di dua lokasi yang berbeda yaitu di tempat laboratorium biologi dan di pinggir jalan raya, didapati bahwa hasil keadaan stomatanya berbeda-beda. Penelitian dilakukan pada letak stomata yang berbeda-beda. Letaknya itu meliputi ujung, tengah dan pangkal. Pada tabel 1 yang letak stomatanya itu berbeda-beda tetapi memiliki beberapa kesamaan yaitu memiliki ukuran stomata yang lebar(nilainya berbeda) dan tipis, keadaan stomata yang renggang, bedanya hanya jumlah stomatanya. Yang letak stomatanya di ujung memiliki jumlah stomata ± 38, di tengah ± 20, dan di pangkal ± 14. Pada tabel 2 memiliki beberapa kesamaan dalam segi ukuran (nilainya beda) dan keadaan stomatanya yang sama pada letak yang berbeda, tetapi dalam segi jumlah stomatanya tidak. Pada tempat yang tercemar ukuran stomatanya kecil tetapi tebal, dan keadaan stomatanya sangat rapat di bandingkan di tempat yang tidak tercemar. Di ujung jumlah stomatanya ± 48, di tengah ± 30, dan di pangkal ±15. Kerapatan stomata pada tempat yang tercemar lebih tinggi. Hal ini bisa terjadi, diduga karena pada tempat yang tercemar, tanaman ini mampu menyerap dengan baik jenis-jenis polutan tertentu yang ada di udara. Semangkin tinggi kerapatannya, maka semangkin baik pula kemampuan tanaman tersebut untuk mengikat polutan, hal ini di perkuat oleh literatur. Menurut Megia R. ( 2015), semakin tinggi kerapatan stomata suatu tanaman, maka semakin tinggi pula kemampuan tanaman tersebut menyerap logam berat atau partikel di udara. Kerapatan dan indeks stomata suatu tanaman dapat digunakan sebagai bioindikator dan biomonitoring kualitas udara. Semakin tinggi KS dan IS, maka semakin baik pula tanaman dalam penyerapan polusi udara (Balasooriya et al. 2008). Pada tempat yang tercemar, selain kerapatan stomata yang menjadi indikatornya masih ada yang lain, yaitu ukuran dari stomatanya.Ukuran panjang stomata yang tinggi ini sangat membantu dalam penyerapan gas polutan dan juga CO2 untuk fotosintesis. Ukuran panjang stomata yang meningkat merupakan indikasi adaptasi tanamannya terhadap pencemar udara. Tanaman yang tumbuh di lingkungan terpolusi cenderung akan mempertahankan dirinya dengan meningkatkan ukuran stomata (Muud dan Kozlowski 1975). Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian, yaitu tempat yang tercemar ukuran stomatanya lebih tebal di bandingkan di tempat yang tidak tercemar. Polutan yang di serap oleh tumbuhan ini tidak akan membahayakannya sendiri, karena zat-zat yang berbahaya akan di ubahnya menjadi zat-zat yang bermanfaat bagi metabolismnya. Menurut penelitian Lembaga Antariksa Nasional Amerika Serikat, NASA, Lidah Mertua mampu menyerap lebih dari 107 unsur polutan yang ada dan berbahaya di udara. Kemampuan menyerap zat polutan itu, karena Sansevieria memiliki bahan aktif Pregnane Glikosid, yang berfungsi untuk mereduksi polutan menjadi asam organik, gula dan asam amino, dengan demikian unsur polutan tersebut menjadi tidak berbahaya lagi bagi manusia. Sansevieria juga menjadi objek penelitian tanaman penyaring udara NASA untuk membersihkan udara di stasiun ruang angkasa. Sementara menurut Wolfereton Environmental Service, satu helai lidah mertua dalam satu jam bisa menyerap 0.938 g polutan. Sansevieria sp. bisa menangani sick building syndrome, yaitu keadaan ruangan yang tidak sehat akibat tingginya konsentrasi gas korbondioksida, nikotin dari rokok, dan penggunaan AC. Studi dari Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya Malang menyatakan bahwa lima helai daun Lidah Mertua dewasa bisa menetralisir udara dalam ruang berukuran 5¹5x4 m alias 100 m3. Tak hanya vacuum cleaner yang memiliki kemampuan menyedot debu. Lidah Mertua pun memiliki kemampuan untuk menyedot debu dan gas polutan. Saat tanaman bernapas, akan menyerap polutan seperti karbon dioksida dan gas beracun lainnya.Lidah mertua menggunakan stomata sebagai vacuum cleanernya untuk menyedot polutan atau gas beracun dan akan memasuki sistem metabolisme dalam tubuh tanaman.Polutan yang telah diserap kemudian dikirim ke akar, pada bagian akar, mikroba melakukan proses detoksifikasi. Melalui proses ini, mikroba akan menghasilkan suatu zat yang diperlukan oleh tanaman. Dalam proses pernapasan tersebut dihasilkan gas yang bermanfaat bagi manusia yaitu berupa oksigen. Proses ini berlangsung terus menerus selama tanaman masih hidup. Karena Lidah Mertua mempunyai jalur metabolisme CAM (Crasulaceaen Acid Metabolism), yaitu di malam hari penyerapan oksigen hanya sedikit sehingga tidak akan mengganggu proses pernafasan manusia. Kesimpulan Tanaman llidah mertua dapat dijadikan sebagai bioindikator kualitas udara melalui pengamatan pada stomata.semakin renggang stomatanya maka udaranya semakin baik, sebaliknya semakin rapat stomata padanya maka udaranya semakin buruk. DAFTAR PUSTAKA Nugroho B. 2005. Komposisi Jenis Dan Struktur Tumbuhan Pada Campuran Tanah Kandiudults Dan Dystropepts Di Berbagai Tipe Penggunaan Lahan Di Dusun Air Abik Pulau Bangka. Agustini, Nurisjah S, Sulistyaningsih YC. 1999. Identifikasi ciri arsitekturis dan kerapatan stomata 25 jenis pohon suku Leguminosae untuk elemen lanskap tepi jalan. Bul. Taman Lansk Indones 2(1): 2-6.40 MEGIA ET AL. Jurnal Sumberdaya HAYATI Agustini, Nurisjah S, Sulistyaningsih YC. 1999. Identifikasi ciri arsitekturis dan kerapatan stomata 25 jenis pohon suku Leguminosae untuk elemen lanskap tepi jalan. Bul. Taman Lansk Indones 2(1): 2-6.40 MEGIA ET AL. Jurnal Sumberdaya HAYATI